
Selepas shalat Zhuhur, para ikhwan
tidak langsung beranjak dari masjid. Seperti biasa, mereka saling membentuk
kelompok-kelompok kecil dan memperbincangkan banyak hal. Begitu pula yang kini
dilakukan akh Simun dan akh Afik di pojok masjid.
“Assalamu’alaikum. Gimana kabarnya,
Akhi?”
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah,
akh. Tetap berseri sebagaimana mentari di pagi hari. By the way, ada apa nih,
akh? Tumben-tumbennya mukanya kusut begitu.”
“Muka ane emang begini, akh.”
“Betul juga. Terus ada apa, akh?”
“Sebenarnya ane pengen minta tolong
sama Ente.”
“Minta tolong apa? Sebagai saudara,
ane pasti bantu kalau Ente punya masalah.”
“Ane pengen curhat. Sebetulnya bukan
masalah ane, tapi masalah umat.”
“Owalah. Berat amat. Emang
masalahnya apa?”
“Itu loh, sekarang saudara-saudara
kita udah pada pindah jamaah!”
“Huaapaaa, yang boneenng? Eh, yang
bener? Pindah gimana maksudnya?”
“Sekarang mereka jadi jamaah
Facebookiyah.”
“Halah, kirain apaan.”
“Tapi ane serius, akh.”
“Muke lu jauh!”
“Ya sudahlah. Kok jadi ngomongin
muka lagi sih, akh?”
“Betul juga.”
“Hm, begini. Sebagai ikhwan yang
militan dan tak takut sama setan, ane cukup prihatin sama saudara-saudara kita
itu.”
“Dan ane, sebagai ikhwan romantis
yang optimis, cukup bingung dengan obrolan kita hari ini. Sebetulnya Antum mau
ngomong apa sih, akh?”
“Bagaimana ane tidak kuatir. Makin
hari saudara-saudara kita lebih aktif di dunia maya (Facebook) ketimbang hadir
pada agenda-agenda di dunia nyata.”
“Ya mungkin mereka sibuk. Wajarlah,
mereka kan para aktivis yang begitu padat akan agenda.”
“Kalau padat agenda, kok masih
sempatnya Facebook-an?”
“Itu dia kehebatan mereka.”
“Ente masih ingat dengan wacana lama
tentang Facebook buatan ‘Yahoo-di’?”
“Masih.”
“Bagaimana pendapat Ente saat itu?”
“Ane sih sah-sah saja ya. Meski
dikabarkan sebagian besar keuntungan itu untuk pembiayaan perang melawan
Palestina dan sebagainya, ane tetap stay cool dan nggak terlalu parno sama
wacana itu. Toh, jika kita gunakan untuk dakwah akan sangat efektif dampaknya.”
“Yuups, sepakat ane dengan Ente.”
“Tapi mukanya biasa aja dong.”
“Tuh kan bahas muka lagi.”
“Betul juga.”
“Hm, waktu itu emang banyak
saudara-saudara kita yang dilematis karena isu itu. Dan nggak sedikit yang
akhirnya menutup akun Facebook mereka loh.”
“Ya bagus. Mungkin itu adalah
tindakan preventif mereka dalam menghadapi yang syubhat tersebut.”
“Tapi bagi mereka yang berpandangan
bahwa Facebook itu sangat potensial untuk dakwah, mereka akhirnya tetap
menggunakan Facebook.”
“Betul. Bagaimanapun Facebook atau
media sosial lainnya adalah sarana efektif dalam berdakwah. Coba bayangkan,
kalau kita punya teman di Facebook itu ada 2000 orang, dan semuanya merasakan
sentuhan dakwah kita. Wuih, mantap dah tuh. Jadi MLP!”
“Apaan tuh MLP?”
“Multi Level Pahala. Hehe.”
“Memang! Apalagi sekarang juga ada
Twitter, di mana kalau kita nge-twet sekali, itu akan tersebar ke seluruh
teman-teman yang follow kita. Kalau yang follow kita ada satu juta orang, terus
kita nge-twet tentang suatu kebaikan, sebanyak itu pula yang mendapat manfaat
dari kita.”
“Luar biasa, ya. Marketing dakwah
yang efektif.”
“Memang.”
“Omong-omong, Ente punya akun
Twitter?”
“Enggak.”
“Yee… jangan ngomong kalo gitu.”
“Abis ane nggak ngerti cara pakainya
sih. Hehe.”
“Gaul dong makanya.”
“Ente punya?”
“Enggak.”
“Yee, ‘kaburomaqtan’ juga Ente…”
“By the way, kalau diperhatikan
sekarang-sekarang ini malah banyak dari saudara-saudara kita yang sudah tidak
membawa semangat tersebut.”
“Semangat apa?”
“Ya semangat ber-Facebook untuk
dakwah itu.”
“Ooh…”
“Kok cuma ‘Ooh’?”
“Itu semua memang kembali kepada
motif kenapa mereka punya Facebook.”
“Nah, itu dia. Kalau ane tanya, Ente
punya Facebook buat apa?”
“Kebutuhan diri, eksistensi.”
“Sebetulnya kalau untuk eksistensi,
kurang tepat juga Ente pilih Facebook. Toh ane yakin, teman-teman Ente di
Facebook adalah teman-teman Ente di kampus juga kan? Setiap hari ketemu di
kampus, kenapa juga punya Facebook?”
“Betul juga. Tapi bagaimana kalau
mau komunikasi saat nggak ketemu di kampus?”
“Kan bisa lewat HP atau email. Atau
kalau mau lebih kongkret, ya jauhlah aja. Datengin tuh rumahnya.”
“Betul juga. Kalau Ente punya
Facebook kenapa?”
“Untuk berbaur dengan teman-teman,
dong. Agar tidak eksklusif. Dakwah itu kan tidak boleh eksklusif.”
“Memang, tapi saking eksklusifnya,
jangan sampai jadi alay. Ane perhatikan isi status saudara-saudara kita begitu.
Kalau yang ikhwan, paling nggak jauh tentang akhwat atau kebelet nikah melulu.
Kalau akhwat, ya paling curhat abis makan ini, abis kerjain itu, abis mikirin
anu, abis ngurusin ono. Macem-macem dah tingkahnya.”
“Oh, begitu ya? Hehe. Hm, kalau soal
akhwat itu lain, akh. Itu adalah sebuah azzam yang memang harus kita niatkan
sejak dini.”
“Azzam sih azzam. Tapi salah tempat,
akh. ‘Afwan nih ya, nikah itu bukan untuk dibicarakan, tapi disiapkan! Kalau
udah siap, gak usah banyak omong, langsung khitbah dong.”
“Belum pede kali, akh. Hehe.”
“Kalau inklusif disalahartikan,
jadinya malah bisa kebablasan, akh. Yang ane kuatirkan adalah, kalau begini
terus, izzah Islam malah jadi taruhannya. Setiap online, saudara-saudara kita
actionnya nggak penting melulu, seperti curhat, ngomongin hal-hal yang
sebetulnya tidak untuk dipublikasikan, atau bahkan berujung pada pembukaan aib
sendiri atau aib orang lain.”
“Mungkin menurut Ente nggak penting,
tapi bagi mereka itu penting, akh.”
“Hm, ane maklum, akh. Itu memang
wajar kalau sebagai manusia ingin diperhatikan. Tapi ini juga soal umat, akh.
Mereka butuh contoh atau keteladanan. Kalau kita-kita, yang notabene aktivis
dakwah malah kurang bisa jadi contoh dan kurang melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar, lantas apa bedanya kita yang sudah tarbiyah dengan mereka yang belum
tarbiyah?”
“Wah, muka Ente serius banget, akh.”
“Tuh kan muka lagi.”
“Betul juga. Terus, menurut Ente
bagaimana?”
“Punya Facebook, kalau nggak
untuk dakwah, mendingan nggak usah!”
“Mantap! Ane suka nih ikhwan yang
kaya begini.”
“Idiih…”
“Enak aja. Ane normal, akh. Tapi
bener kata Ente, ane jadi ingat kata ustadz yang mengutip perkataan Imam
Syafi’i.”
“Yang kaya gimana tuh?”
“Tapi ane lupa, akh.”
“Diingat-ingat, dong.”
“Tunggu, biar ane coba ingat-ingat
dulu…”
“……”
“Aha! Ane tahu, akh!”
“Nah gitu dong, jadi apa?”
“Ane tahu kalau ane belum ingat,
akh.”
“*&*&#$%#@!”
“Tapi secara garis besarnya ane
tahu, akh.”
“Buruan deh, sebelum muka ane jadi
nggak enak nih.”
“Kalau muka Ente mah emang udah dari
tadi…”
“Buruan!”
“Jadi kurang lebih begini: Andai
kata Al-Qur’an itu hanya berisi surat Al-‘Ashr, maka sesungguhnya surat
Al-’Ashr telah cukup menjadi pedoman seluruh manusia untuk selamat dalam hidup
ini.”
“Nah, itu dia. Begitu pula dengan
ber-Facebook. Kalau digunakan tidak untuk hal yang bermanfaat, jadinya kita
malah merugi deh.”
“Iya, sudah rugi waktu, tenaga,
pikiran, biaya, dan jelas itu juga merugikan orang lain.”
“Kok bisa merugikan orang lain?”
“Secara umum, orang lain jadi rugi
karena capek-capek baca hal-hal yang nggak penting dari kita. Lalu orang tua
juga jadi rugi, karena listrik di rumah dan uang yang kita pegang itu kan masih
pemberian orang tua. Eh kita buat yang begituan. Sayang banget.”
“Tumben Ente bijak, akh.”
“Dari dulu kali.”
“Eh, by the way, jam berapa
sekarang, akh?”
“Hm, jam 13.58 WIB. Kenapa? Ente ada
kelas lagi?”
“Iya, ane ada kelas Metodologi
Penelitian. Dosennya disiplin. Ane nggak boleh telat, akh. Yaudah, ane pamit
dulu ya. Syukron nih udah nemenin ngobrol.”
“Iya, akh. ‘Afwan. Sukses ya! Lain
kali kita ngobrol lagi. Ok?”
“Siip. Wassalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam.”
Hening. Angin sesekali bergerak
mengusir panas kala itu. Sebagian mahasiswa di masjid ada yang pergi, kemudian
ada yang datang kembali. Sementara geliat kampus masih seperti sedia kala,
hingga turut membawa senja tiba. Akh Afik, yang kala itu sedang di warnet,
membuka Facebook-nya dan tiba-tiba mendapati status terbaru akh Simun: Dosen
met-lit galak banget sih! Masa telat semenit nggak boleh masuk!?
Akh Afik hanya tersenyum melihat
tingkah saudaranya yang satu itu. Kemudian ia gerakkan jarinya dan menulis
sebuah status yang entah ia tujukan kepada siapa: Sebentar begini, sebentar
begitu, dasar ikhwan labil!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar