Jumat, 31 Agustus 2012

Keputusan Teteh ‘tuk Kembali Berkerudung


Kaifa Ihtada

10/8/2012 | 22 Ramadhan 1433 H | Hits: 1.525
Oleh: Adit Purana
Kirim Print
Ilustrasi (qimta.devianart.com)
dakwatuna.com - Ahad yang istimewa, kiranya begitulah yang saya rasakan saat pagi mendapatinya datang ke rumah. Ahad ini kami sekeluarga ada acara kumpul keluarga besar di Jatibening, Bekasi. Teteh yang tinggal tidak serumah dengan saya datang lebih awal sebelum keberangkatan untuk bisa berangkat bersama-sama. Sekitar jam setengah 7, terdengar ada suara mengetuk-ngetuk pagar rumah kami. Siapa ya? Ya kami berpikir siapa lagi kalau bukan teteh, terlebih lagi beliau memang sudah bilang akan ikut berangkat bareng bersama kami. Benar saja, setelah membuka pintu dan melihat dari dekat, ternyata itu teteh. Setelah hampir sebulan kami tak bertemu, ada satu hal yang mengejutkan dari penampilannya. Yaitu secarik kain berwarna biru muda yang membalut kepalanya.
Apakah saya terkejut? Tentu saja iya. Raut terkejutnya saya itu pun terbaca oleh teteh yang tersenyum sambil mengatakan, “Udah seminggu kok!” Baginya, sudah seminggu terlewati dia menjalani hari-hari sebagai wanita berkerudung. Namun bagi saya, baru sekarang melihat dia kembali demikian setelah sekian lama melepas kerudungnya sekitar tahun 1996. Walau cara berkerudungnya berbeda, tak apa lah. Saya sudah cukup senang melihatnya. Dekade 90-an, saat kerudung belum menjadi trend, hanya beberapa kalangan yang mengenakannya, hanya guru di sekolah, dan pelajar atau mahasiswa yang aktif di kerohanian. Selebihnya, ya para santriwati dan ustadzah. Saya ingat betul, saat itu hanya ada 1 model berkerudung, yaitu model berkerudungnya jilbaber kampus. Dulu belum ada kerudung kaos seperti sekarang, yang ada hanyalah secarik kain yang dilipat lalu digunakan untuk menutup kepala. “Bahkan ada yang sampai 3 lapis”, begitu kata teteh saat pernah bercerita tentang masa-masa dulu dia berkerudung.
Saya tak tahu kapan persisnya teteh mulai berkerudung. Dulu beliau hanya pernah bercerita bahwa saat masih SMA, rambutnya kerap beruban, dan tak sedikit. Entah ada apa dengan pertumbuhan rambutnya, namun katanya hal itu membuatnya malu. Teteh yang suka bergaul dengan anak-anak Rohis pun akhirnya memilih untuk berkerudung. Padahal saat itu sekolah-sekolah negeri masih antipati untuk menerima siswi-siswi yang berkerudung. Seperti kata dosen saya, tahun awal 90-an memang menjadi masa-masa sulit bagi siswi yang berjilbab.
Ini-itu dipersulit oleh sekolah. Satu-satunya harapan yang membuat teteh istiqamah sebagai kalangan minoritas saat itu adalah karena beliau suka ikut mentoring di Masjid Salman ITB setiap Ahad. “Banyak temen ama ada teteh-teteh mentor yang terus ngedukung…” Begitulah tutur teteh mengingat masa lalunya saat masih SMA. Alhamdulillah, sampai kuliah pun teteh masih menjaga berkerudungnya. Bahkan saya sempat dikenalkan pada teman dekatnya yang sesama jilbaber. Teteh biasa memanggilnya ‘Vivi’, jadi saya memanggilnya ‘Teh Vivi’. Orangnya ramah, lembut, bahkan saya sempat ditraktirnya. Wah, temennya si teteh baik pisan!
Tahun 1994, penampilan berkerudung adalah hal yang berbeda dibandingkan kebanyakan. Hanya kalangan tertentu saja yang memilih untuk berkerudung, di antaranya adalah teteh dan temannya itu. Walau teteh mengaku beda dengan temannya itu, dalam pikiran saya -yang masih bocah saat itu- tak ada bedanya. Teteh bercerita, “Wah, telaten pisan Teh Vivi mah. Kerudungnya juga sampe 3 lapis. Udah gitu, kesehariannya juga lebih kejaga…”
Saya sempat berpikir, kok bisa-bisanya teteh sampai sebegitu istiqamahnya. Padahal keputusan yang dipilihnya membuat dia menjadi minoritas. Namun di satu sisi, itulah yang justru membuat saya kagum padanya. Rasa kagum yang membuat saya sampai penasaran untuk mengenal mereka lebih jauh, terutama kalangan mereka. Untuk sementara waktu, sebagai bocah SD, saya hanya mengenal mereka sebagai aktivis masjid kampus. Beruntungnya saya saat itu, mereka bukanlah sosok-sosok misterius yang suka mengeksklusifkan diri yang hanya mau bergaul dengan sesama kalangannya. Malahan justru mereka terbuka dan tak sungkan untuk bercerita menjelaskan ini-itu, atau sekedar ngobrol ngelantur bercanda bercengkerama.
***
Entah alasan apa, tiba-tiba teteh tak lagi berkerudung. Terutama saat tahu bahwa beliau telah lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan. Saya yang masih kelas 5 SD tak menanyakan alasannya. Sekedar bengong, tak berani menanyakannya. Sepertinya itu hal yang amat personal baginya. Dan lagi, dulu saya memang tak begitu memikirkannya. Jika mau jujur, sebenarnya dari dulu saya lebih senang teteh tetap berkerudung. Sebagaimana saya senang saat ada guru SD yang pada akhirnya memilih berkerudung. Lagian, kata guru ngaji saya juga: “Idealnya perempuan itu berkerudung.”
Saya tak berpikir banyak, karena memang merasa tak ada yang bisa saya lakukan. Apapun keputusan beliau, saya tetap menghargainya. Bertahun-tahun setelah tak lagi berkerudung, saya juga tak pernah bertanya-tanya tentang keputusannya itu. Bahkan sampai bapak meninggal di tahun 2007 pun, saya masih sungkan untuk menanyakannya. Padahal saat masih sakit-sakitan, saya pernah mendengar bapak pernah bertanya pada teteh, “Kapan mau berkerudung lagi?” Mengerti apa maksud bapak. Beliau ingin kembali melihat teteh berkerudung seperti dulu lagi. Namun apa daya, bapak keburu dijemput malaikat. Saya yang menyadari hal ini hanya diam dan sedih. Ah, andai saja bapak sempat melihat teteh kembali berkerudung, dan teteh sempat melihat raut wajah bapak yang melihatnya berkerudung.
Suatu hari, setelah kepergian bapak, teteh pernah bercerita bahwa sebenarnya dia ingin kembali berkerudung. Teteh juga bercerita betapa sedih dirinya karena tak sempat melihat anaknya yang satu itu kembali berkerudung. “Teteh pengen kayak dulu lagi. Ngaji juga mau mulai dari awal lagi.” Teteh yang tahu bahwa saya suka aktif di masjid dekat rumah dan mengajar baca al-Qur’an pun meminta saya untuk mengajar. Padahal saya adiknya. Haduh… haduh… haduh… Saya kaget bukan main. Karena bagaimanapun juga, dia adalah kakak saya. Ada rasa sangat sungkan bila tiba waktu untuk mengajarnya.
Hari demi hari demi hari berlalu, namun agenda ngaji sering batal. Katanya, teteh sibuk. Sibuk beres-beres rumah, sibuk bekerja, sibuk bikin kue, juga sibuk untuk mempersiapkan pernikahannya yang kedua. Setelah gagal pada pernikahannya yang pertama karena sesuatu hal, akhirnya ada seorang lelaki yang tertarik kepadanya. Sebelum menikah, teteh pernah bercerita tentang calon suaminya itu. “Dia dia teh yang mau berusaha dan teguh memegang prinsip. Agamanya juga baik. Nanti kalau jadi ama yang ini, teteh mau pake kerudung lagi ah.”
Alhamdulillah, beberapa bulan yang lalu, teteh menikah dengannya. 4 bulan setelah pernikahannya, teteh memenuhi tekadnya untuk mulai berkerudung. Saya sebenarnya tak tahu persis alasan apa yang membuat teteh kembali berkerudung. Tapi dari gelagatnya akhir-akhir ini, sepertinya teteh mendapatkan semangatnya untuk kembali berkerudung setelah bertemu dengan lelaki yang menjadi suaminya itu. Entahlah, apapun itu yang jelas saya senang.
“Berasa terlahir kembali”, itulah kalimat terakhir yang dikatakan teteh saat pagi sebelum berangkat ke Jatibening. Rasanya jadi mulai mengerti kenapa teteh bersikeras ingin mulai lagi dari Iqra 1. Rencananya Ahad depan teteh akan mulai ngaji, dan saya pun akan mempersiapkan bahan belajar untuknya, tentunya dengan rasa yang lebih bahagia. Semoga teteh istiqamah dengan kerudungnya.



Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22238/keputusan-teteh-tuk-kembali-berkerudung/#ixzz258O8V2KP

Muhasabah Cinta


Artikel Lepas

7/8/2012 | 19 Ramadhan 1433 H | Hits: 1.071
Oleh: Riana Yahya
Kirim Print
Ilustrasi (Erina Prima)
dakwatuna.com - Mari sejenak bermuhasabah diri dengan sepenuh cinta, menengok lembaran kehidupan yang telah kita lalui, agar menjadi pelajaran bagi kita untuk hadapi kehidupan di depan….
Sobat, adakah kita teladani Rasulullah yang tiap malamnya tak pernah berlalu tanpa qiyamullail? Ia berlama-lama berdiri, ruku’, dan sujud, hingga bengkaklah kedua kakinya. Padahal, ia telah terampuni dosa yang lalu dan yang akan datang. Padahal, Allah telah jaminkan jannah untuknya. Sedangkan, kita yang dosanya bagai buih di lautan, bagai pepasir di pantai ini, masih berani dan tenang saja menikmati malam-malam bernyenyak dalam gumul selimut hangat.
Sobat, adakah air mata kita sebermanfaat milik Ibnu ‘Abbas yang menangisnya karena gigil takut kepada Allah, hingga butalah kedua matanya? Ataukah air mata kita lebih banyak menetes karena kekecewaan kita terhadap makhluk, karena harapan yang tak terpenuhi, bahkan karena sinetron dan film picisan itu?
Sobat, adakah kita seistiqamah Muhammad Al-Fatih? Yang sejak balighnya tak pernah meninggalkan satu pun shalat wajibnya, tak pernah tinggalkan satu pun puasa Ramadhannya, tak pernah lebih dari sebulan mengkhatamkan Al-Qur’an, tak pernah kehilangan satu ayat pun hafalan Al-Qur’an, tak pernah tinggalkan satu malam pun berqiyamullail, dan tak pernah meninggalkan puasa ayyaamul bidh.
Sobat, adakah kita sedermawan ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang kisaran angka shadaqahnya untuk penduduk Madinah bisa mencapai 40.000 dinar dalam sekali bagi? Ataukah kita masih saja beralibi dengan jawaban klise, “Yang penting ikhlas walaupun sedikit,”?
Sobat, adakah kita sejujur ‘Abdullah ibn Al-Mubarak yang walaupun sudah berbulan menjaga kebun delima, namun belum sekalipun mencicipinya? Ataukah telah berkali kita menikmati sesuatu yang bukan hak kita?
Sobat, adakah kita setulus ‘Umar ibn Khathab yang kecintaannya pada Allah dan RasulNya melebihi kecintaannya kepada diri sendiri? Ataukah kita melakukan segala hanya untuk keselamatan dan kenikmatan diri kita sendiri?
Sobat, adakah kita seteguh Ka’ab ibn Malik yang tak kilau oleh tawaran Raja Ghassan yang memintanya menjadi duta besar Kekaisaran Romawi Timur? Padahal saat itu di Madinah, di kota kelahirannya sendiri, ia sedang merasakan tersiksanya dikucilkan karena hukuman. Ataukah kita sering kali tunduk, memohon, bahkan menghamba, kepada seorang musyrik demi tahta dan kekuasaan?
Sobat, adakah kita setegar Bunda Hajar? Yang karena imannya pada Allah, merelakan suaminya, Ibrahim, pergi meninggalkannya hanya berdua dengan bayi mereka yang masih merah, di lembah kosong tak berpenghuni, gersang, terik, liar. Ataukah kita akan menarik manja pasangan kita yang hendak pergi atas perintah Allah?
Sobat, adakah kita malu kepada Nu’man ibn Qauqal? Yang walaupun dalam keterbatasan fisiknya yang cacat, yang pincang, tapi ia tetap mengikuti Perang Badar, dan menemui syahidnya dalam Perang Uhud. Ataukah kita yang dalam kesempurnaan fisik ini, masih saja mencari beribu alasan untuk menghindar pergi ke medan jihad?
Yang berlalu jelas tak dapat diulang kembali ‘tuk diperbaiki. Jangan buat sesal kini tersia tiada berarti. Mari istighfar, memohon Allah sudi ampuni diri. Lalu perbaiki diri di tiap bilangan hari.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22287/muhasabah-cinta-2/#ixzz258MNsTJ7

Umar: Film Kepahlawanan Pemuda


Artikel Lepas

25/8/2012 | 07 Shawwal 1433 H | Hits: 3.778
Oleh: Muhammad Elvandi, Lc
Kirim Print
Ilustrasi – Poster Film Umar. (inet)
dakwatuna.com – Setiap umat berbangga dengan sejarah masa lalunya untuk menginspirasi masa depannya. Mereka mengumpulkan manuskrip para pahlawannya, hingga detail-detailnya untuk kemudian mereka presentasikan ke generasi mudanya. Oleh karena itu lihatlah di Paris, museum para pahlawan mereka berderet di setiap pojok kota. Setiap kisah kepahlawanan itu diintegrasikan ke dalam semua proses pembelajaran generasi muda mereka. Dengan semua sarana yang mungkin.
Bahkan bagi umat yang tidak mempunyai sejarah panjang seperti Amerika. Mereka baru berumur tiga abad. Tidak banyak yang bisa mereka banggakan untuk rakyatnya, tapi mereka memahami arti penting sejarah yang membangkitkan energi positif. Maka mereka buat seadanya dari tokoh manapun yang tersisa, hingga berdiri salah satu museum, yaitu museum ‘Pirate’. Bayangkan, segerombol perampok lautan mereka pajang karena tidak banyak yang bisa mereka pajang.
Siapa yang tidak kenal kejayaan masa lalunya maka ia tidak ada kegemilangannya masa depan yang menantinya. Ini dipahami benar bagi umat-umat yang sadar kaidah-kaidah revolusi sosial. Maka di abad ini layar kotak di ruang-ruang tamu kita dibanjiri film-film yang menggambarkan keagungan pahlawan-pahlawan Barat.
Kejayaan Roma dikembalikan dengan visualisasi yang begitu detail dan memukau dalam serial seperti Rome, Los Borgias. Caesar menjadi inspirasi para politisi pengagung republik, William Wallace menjadi simbol sebuah perlawanan Skotlandia melawan penjajahan Inggris. Henry VIII yang kejam itu dipoles sehalus mungkin di 4 season serial Tudors-nya yang menjadi inspirasi restorasi keagamaan Eropa. Dan Raja Arthur yang gemar perempuan itu menjadi begitu bijak dalam film-film baikExcalibur, King Arthur, ataupun serial Camelot. Ia disimbolkan menjadi tokoh pengembali kejayaan Eropa dari kepingan reruntuhan kerajaan-kerajaan Roma.
Film Alexander, Spartacus, 300, menjadi wakil kegemilangan bangsa Yunani yang pernah menguasai dunia. Atau seperti juga Joan of Arc yang menjadi wanita pahlawan Kristen Perancis; Napoleon yang kuda-kudanya pernah menginjak-injak kehormatan Al-Azhar Mesir tidak hanya digandrungi orang Perancis, tapi oleh umat Islam juga karena kuatnya efek sugesti kepahlawanan yang disebar, belum lagi kisah heroik Louis IV, raja teragung mereka, dan para pemikir-penulisnya seperti CamusVictor Hugo, Sade, Voltairedan Rosseau.
Umat Timur pun tidak lupa membakar obsesi dan meluaskan cakupan mimpi generasi mudanya dengan film. Attila adalah tokoh kebanggaan ras Turki, seperti juga Jengis Khan. Kisah para kesatria Samurai dalam film-film Jepang benar-benar menjaga kemurnian tradisi asli mereka yang berkhidmah hanya untuk kaisar. Ada Ghandi, Mao Tse Tung, Bruce Lee, bahkan film G-30S PKI adalah usaha-usaha untuk menyebar nilai-nilai tertentu bagi generasi baru. Karena bahasa tulisan tidak memasuki hati seperti bahasa gerakan. Semua pesan itu masuk sebenar masuk ke dalam pikiran dan hati, salah atau pun benar.
Apalagi Amerika, film-film yang mereka produksi itu walau fiksi bukan tanpa bekas bagi jiwa. Jika tanpa sadar anak-anak kecil kita melakukan gerakan refleks, meniru gerakan beberapa tokoh seperti Spiderman dan Rambo. Itu bukan kebetulan. Atau ketika para pemuda yang kepalanya tertunduk saat berbicara persaingan dengan Amerika itupun bukan kebetulan. Karena setiap saat mata kita mengkonsumsi semua ‘kegemilangan’ budaya mereka.
Mental manusia itu bisa melambung tumbuh saat merasakan kebesaran sejarah bangsa sendiri ataupun menciut kecut saat melihat ketiadaan sejarah dan justru melihat keagungan umat lain. Itulah yang terjadi saat kecanggihan militer dan teknologi Amerika kita saksikan di film-film seperti Hulk dan Iron Man, atau keberanian mereka di film Saving Private RyanThe Patriot, dan serial Band of Brother.
Sedangkan film yang diputar di masyarakat muslim sejak tahun 1977 hanyalah The Message atau ar-Risâlah. Sekali-kali ditambah dengan film Umar Mukhtar, atau film serial berkualitas rendah, baik dari akting, latar, desain pakaian dan skenario. Terlebih jika ia film Islam, tidak memperhatikan validitas data sejarah, bahkan tidak memberi inspirasi malah menciptakan fitnah seperti serial Hasan dan Husein atau film serial al-Jama’ah yang mendistorsi sejarah kelahiran Ikhwanul Muslimîn dan biografi Hasan al-Banna.
Di tengah kegersangan ini, saat generasi muda muslim pasca revolusi 2011 membutuhkan inspirasi pemimpin datanglah serial film tentang salah satu manusia teragung sepanjang sejarah umat manusia: Umar bin Khattab.
Ia bukanlah film asalan dan berformalitas ‘Islam’. Tapi ia adalah proyek besar yang Insya Allah diberkahi. Hâtim ‘Ali Sang Produser dari Syria ini tidak tanggung-tanggung dalam membuatnya. Ia carikan penulis skenario se-kaliber Dr. Walîd Saif yang telah menulis naskah-naskah besar seperti ‘Az-Zair as-Sâlim, al-Khansâ, as-Syajaratud Dur, Salahuddîn al-Ayyûbi, Rabi’ Cordoba dan banyak lagi. Tidak hanya itu, semua skenario serial Umar ini telah diteliti validitas sejarah hingga ke detail-detailnya oleh sebuah tim yang terdiri dari ulama-ulama besar seperti: Dr. Yûsuf al-Qaradhâwi, Dr. Salmân al-‘Audah, Dr. ‘Abdul Wahhâb at-Tharîri, Dr. ‘Ali as-Shallâbi, Dr. Sa’ad al-‘Atîbi, Dr. Akram Dhiyâul ‘Umari.
Sepanjang sejarah sinema Arab, belum pernah diproduksi film sebesar ini. Tempat shooting diambil di berbagai lokasi dari Maroko hingga Syria. Dengan 322 pemeran dari 5 benua berbeda. Film Umar berhasil membangun ulang suasana kota Mekah dan Madinah abad ke-7 dengan 29 bangunan internal untuk shooting dan 89 bangunan eksternal. Yang didesain di pinggiran kota Marakech di Maroko. Ditambah lagi desain Ka’bah yang persis aslinya di zaman itu sebesar 12.000 meter persegi.
Kerja terberat adalah visualisasi perang. Ia membutuhkan 170 hari untuk perang saja. Dan untuk keseluruhan momen besar itu membutuhkan 20.000 pemeran ekstra dalam perang.  Tidak hanya dalam perang tapi juga dalam momen-momen eksternal seperti Thawaf di Ka’bah atau Fathu Mekah.
Film produksi MBC ini menyiapkan 1.970 pedang, 650 tongkat, 1.050 perisai, 400 busur dan 4.000 anak panahnya, 170 baju besi untuk perang yang disebut dira’, 15 gendang, 1.600 tembikar, 7.550 sandal, 137 patung, 14.200 meter kain, 39 ahli desain dan penjahit, 100.000 koin, 1.500 kuda dan 3.800 unta.
Kerja yang sungguh besar, saat ditanya alasan usaha ini, mereka menjawab, tokoh sebesar Umar tidak layak dipresentasikan kecuali dalam karya yang besar pula. Sehingga 299 designer dari 10 negara pun secara khusus didatangkan.
Film Umar yang menghabiskan 322 hari ini terus melejit menuju dunia internasional, dimulai dari timur tengah, kemudian menuju Turki dengan bekerja sama dengan TV terbesar mereka yaitu ATV Turkuvaz Media Group. Dan di Indonesia bekerja sama dengan MNC TV. Hingga saat ini penonton film ini sekitar 700 juta, atau setengah populasi umat Islam. Dan ia akan terus menyebar dengan terjemahan-terjemahan ke bahasa asing lain. Sekaligus ini menjadikannya film yang paling banyak disaksikan dalam sejarah perfilman Arab.
Sepanjang perjalanan tayang di bulan Ramadhan 2012 lalu, film Umar bukan tanpa tentangan dan makian. Beberapa ulama yang melihat bahwa visualisasi sahabat haram menyebarkan terus fatwa-fatwanya di berbagai media, menyeru untuk memboikot film ini.
Namun Dr. Salmân ‘Audah yang mempunyai pendapat lain tidak melihat pertentangan ini sebagai sesuatu yang esensial.  Karena urusan ini tidak ada aturan dan larangannya dalam Qur’an maupun Sunnah. Ia hanya berada di domain perbedaan pendapat ulama soal setuju dan tidak setuju, bukan halal-haram. Tiap ulama berpikir dan berijtihad sesuai sudut pandang yang diyakini benarnya, bukan mutlak. Maka ia sangat mungkin berbeda pendapat. Dalam Islam, perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidak berlaku hukum halal-haram, tapi yang tepat dan tidak tepat. Allah mengganjar yang tidak tepat dengan satu pahala karena usaha berpikirnya itu, sedang yang tepat dengan dua pahala karena usaha dan ketepatannya. Maka alangkah sayangnya jika ulama-ulama umat ini malah semakin memecah umat dengan fatwa-fatwa kerasnya itu.
Karena perfilman sekarang ini “sedang berada di medan sengit, jika Anda tidak mengisinya, maka pasti orang lain yang akan mengambil alih, apalagi dasar semua persoalan ini adalah ‘boleh’” kata Dr. Salmân. “Fatwa-fatwa itu tidak juga menghentikan orang-orang dari waktu luangnya yang panjang untuk menonton tayangan-tayangan yang tidak layak, tapi justru fatwa-fatwa itu menghadang niat tulus orang-orang yang berjuang memberi alternatif tayangan untuk masyarakat” lanjutnya.
Yang diperlukan hanyalah pengawasan ketat terhadap film sahabat. Oleh karena itu tim pengawas yang terdiri dari 6 ulama besar ini memberikan syarat-syarat yang sangat berat bukan hanya pada skenario, tapi juga pada para pemainnya. Untuk pemeran Umar misalnya, selain sifat-sifat fisik yang mendekati Umar, ia harus pemain baru, yang tidak mempunyai reputasi perfilman sebelumnya, dan ia harus bersedia tidak menerima tawaran apapun selama 5 tahun terhitung sejak mulai kontrak film Umar.
Pilihan itu jatuh pada Sâmir Ismâ’îl, seorang mahasiswa Syria yang tidak pernah mempunyai pengalaman film sebelumnya. Lelaki muslim bertubuh tinggi bersuara besar yang cocok memerankan Umar ini bahkan mengatakan “setelah peran ini, saya akan sangat selektif memilih peran, dan menjadi tanggung jawab saya untuk menampilkan sosok seniman dan aktor yang baik, dan jauh dari semua yang bisa menodai pribadi Umar yang agung”.
Film Umar ini benar-benar sebuah inspirasi pasca revolusi. Saat panggung kepemimpinan negeri-negeri muslim kosong ia hadir memberi paket teladan kepemimpinan yang adil, bijaksana, toleran, dengan bobot kepahlawanan yang memanaskan adrenalin para pemuda untuk mengikuti jejak langkahnya.
Juga, ia berhasil meluruskan sekian banyak persepsi yang salah di literatur-literatur sejarah palsu sahabat yang bertebaran di pustaka umat. Seperti pertengkaran Umar dan Ali karena Ali telat membaiat Abu Bakar, atau ambisi tamak pembesar Anshar untuk kepemimpinan pasca wafat Rasulullah sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Abu Bakar karya Muhammad Husein Haikal. Semua itu tidak benar jika dirunut di buku-buku sejarah sahabat yang valid seperti Abu Bakar karya Dr. ‘Ali Muhammad as-Shallâbi. Semua diskusi dan perselisihan pendapat antar para sahabat berlangsung dengan sangat santun dan penuh ukhuwah. Dan film ini mengklarifikasi pikiran jutaan umat Islam yang tidak sempat membaca detail dan tebalnya buku-buku biografi sahabat Rasul.
Film ini memberi konteks yang benar, adil, proporsional tentang makna syûra, zuhd, qadâ dan qadar, keberanian, tujuan jihad, makna rahmatan lil ‘alamin, universalisme Islam dan banyak lagi nilai Islam yang dipresentasikan sepanjang 31 seri ini.
Dan yang terutama, film ini memberi umat Islam sebuah model kepahlawanan, bahwa kisah manusia agung seperti Umar itu bukan mitos tapi pernah ada. Lalu divisualisasi hingga nyata terasa di darah dan daging penonton. Ia menjadi model keadilan bagi umat manusia, yang di film itu tersublimasi dalam kegagapan duta resmi Kaisar Romawi dengan mata terbelalak saat menemui Umar yang sedang tidur di bawah pohon, tanpa singgasana, tanpa mahkota, tanpa pengawal istana, hanya beralas kerikil Madinah. “Semua perkataan orang-orang tentangmu sudah cukup membuatku bingung… dan sekarang keheranan itu telah berubah menjadi keyakinan, kali ini aku tidak berkata dari lidah orang lain kecuali lidahku sendiri”. Dengan tergagap ia berkata “Anta Yâ ‘Umar, ‘Adalta, Fa Aminta, Fa Nimta” [Anda wahai Umar, kau semai keadilan, maka kau merasa aman, maka kau tidur tenang].



Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22495/umar-film-kepahlawanan-pemuda/#ixzz258L01hzO

Salman Al-Farisi Versi Modern


Artikel Lepas

30/8/2012 | 12 Shawwal 1433 H | Hits: 1.010
Oleh: Nadhia Dwi Lestari
Kirim Print
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - Kamis pagi, setelah sahur, shalat subuh dan dzikir al-ma’tsurat saya sedikit tertarik dengan tayangan di salah satu stasiun TV swasta. Di tayangan tersebut, menceritakan perjalanan seorang reporter di sebuah Negara, Negara itu adalah Korea Selatan dan menceritakan kisah para muallaf di sana. Bisa kita bayangkan, bagaimana kuantitas dan keadaan umat muslim di negara seperti Korsel tersebut. Muslim di sana sangatlah minoritas, situasi dan kondisi di sana seakan tidak mendukung keberadaan seorang umat muslim. Gak perlu kita berpikir jauh-jauh untuk berdakwah secara bebas di sana seperti layaknya di Indonesia, untuk mereka mencari makanan yang halal dan thayyib saja sangatlah sulit… inilah sebagian potret keadaan saudara seiman kita di sana.
Sang reporter pun mengunjungi salah satu masjid yang ada di sana, masjid tersebut sangat ramai oleh para umat muslim bermata sipit. Ternyata di masjid tersebut terdapat kegiatan seperti kajian Islam, pada kajian itu dihadiri oleh para umat muslim yang berusia antar 17 tahun s/d 30 tahun. Wajah mereka sangat antusias mengikut kajian tersebut, kajian tersebut rutin tiap pekannya. Di dalam kajian ada banyak hal yang dibahas oleh moderator, dari ilmu fiqih, sharing antar muallaf sampai games sehingga tidak membosankan. Yang uniknya lagi, para peserta berasal dari seluruh penjuru dunia (tidak semuanya orang Korea) tapi itu bukan berarti menjadi kendala dalam kajian tersebut. Karena ada moderator yang menerjemahkan bahasa pembicara, baik ke bahasa Korea maupun bahasa Inggris.
Selepas reporter mengikuti kajian tersebut, reporter mewawancarai beberapa muallaf. Muallaf yang pertama bernama, sebut saja Abdullah (nama setelah muallaf). Pada awalnya Abdullah hanya mengkaji kisah seorang manusia yang bernama Muhammad SAW, ia tertarik sehingga ia terus mencari tahu. Pada awalnya, yang ia tahu nama Muhammad hanyalah sebuah tulisan Arab, tidak lebih. Namun, setelah ia mengkaji lebih lanjut ternyata Muhammad SAW adalah sosok Nabi dan sosok suri tauladan yang baik. Kemudian ia memutuskan untuk segera memeluk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini pun ia beri tahu kepada keluarganya yang menganut agama Katolik yang alim, pada awalnya keluarga Abdullah kecewa dengan keputusannya, tapi Alhamdulillah akhirnya menghargai akan keputusan itu. Jika Abdullah sedang beribadah-pun keluarganya tidak ada yang mengganggu. “Ini adalah tugas saya, saya harus memberitahukan kepada keluarga saya, bahwa hanya ajaran Islam-lah yang benar dan Islam adalah sebaik-baik agama” pernyataan ini sungguh membuat saya tersentuh dan malu, begitu kuat tekad seorang muallaf ini padahal ia ‘baru saja’ mengenal Islam. Kemudian ia berkata “Asyhadu alla ilaha illallah wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” ini adalah dua kalimat syahadat yang berfungsi sebagai pengingat bahwa ia adalah seorang muslim. Subhanallah…
Kemudian reporter bertemu dengan seorang muslimah Korea yang seorang muallaf juga, Isro namanya. Kini ia berusia 17 tahun, usia yang masih sangat belia untuk mengambil keputusan pindah agama. Tapi ketika hidayah Allah sudah datang, maka tak satu pun yang dapat mencegahnya. Isro kini bersekolah di sekolah Kristen, hingga saat ini pun ia masih merahasiakan status keislamannya pada keluarga dan teman-teman sekolah. Lalu di berujar “saya akan mengatakan hal ini pada keluarga saya, karena ini adalah tugas saya” dengan senyuman ia berkata seperti itu. Saat ini-pun ia memutuskan untuk menggunakan kerudung ia berkata “dengan menggunakan kerudung, saya lebih terlindungi dan saya lebih dikenal sebagai seorang muslimah” subhanallah begitu mantap tanpa rasa ragu dan malu Isro berkata seperti itu. Tapi, sayangnya ia hanya bisa menggunakan kerudung di luar rumah dan di luar sekolah. Karena keluarga belum ada yang tahu mengenai hal ini, tapi jujur…saya sungguh sangat salut dan kagum pada seorang Isro. Dan ia juga berkata “saya ingin menikah dengan seorang muslim, agar saya bisa bebas menggunakan kerudung” semoga impianmu terkabul saudaraku.
Inilah potret Salman Al-Farisi era modern, kedua orang muallaf tadi dengan bangga, tanpa rasa malu mengatakan bahwa mereka adalah seorang muslim. Dengan tekad yang kuat pula mereka terus belajar, belajar dan belajar mengenai Islam. Mereka juga terus bertahan di tengah keadaan yang sangat minoritas di sana, dengan keadaan keluarga mereka yang sangat bertolak belakang dengan jalan yang mereka pilih.
Potret saudara kita yang di sana bisa menjadi cambukan khusus untuk kita sendiri. Sudahkah kita bangga dengan status keislaman kita? Sudahkah kita bangga dengan kerudung yang kita gunakan saat ini? Sudahkah kita bersyukur atas agama yang kita tempuh atas dasar nasab orang tua kita? Dan apakah Islam hanya menjadi status saja atau tidak??? Semua pertanyaan ini wajib kita renungi saudaraku…
Allah-pun berfirman dalam surat cintaNya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (Qs. Al-Fushshilat: 30)
Wallahu’alam bisshawab.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22575/salman-al-farisi-versi-modern/#ixzz258JxFUcu

2 Rahasia Agar Dicintai


admin | 25 Januari 2012 | 3 Comments

Description: http://inspirasiislami.com/wp-content/uploads/2012/01/love.jpeg
Ilustrasi dari Inet
Saudaraku…
Hidup terasa indah berseri. Berwarna dan bermakna. Pelangi menghiasi kalbu. Surga memenuhi relung hati. Hal itu tercipta jika hari-hari kita dipenuhi dengan warna dan corak cinta. Dicintai oleh orang-orang yang dekat di hati kita.
Dirindui anak dan istri. Dikasihi tetangga dan rekan-rekan satu profesi dan satu genarasi. Disayangi guru dan santri-santri. Dicintai bos dan atasan kita di tempat kerja. Dan dikangeni oleh orang-orang yang pernah mengenal kita. Terlebih dicintai oleh Rabbul Izzati.
Namun meraih cinta mereka tidaklah mudah. Sebelum kita dicintai, tentulah kita ungkapkan cinta kita kepada mereka terlebih dahulu dengan semua warna cinta.
Dan cinta itu bukan sekadar ungkapan yang keluar dari bibir kita. Perlu dibuktikan dengan pengorbanan. Dan itulah yang membedakan seorang pencinta sejati dengan pecundang cinta. Dan bukti itu cukup menghadirkan dua hal saja, seperti disebutkan oleh syekh Mustafa Siba’i rahimahullah.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai Allah SWT: takwa kepada-Nya dan menampilkan budi pekerti yang mulia.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai manusia seluruhnya: suka berderma dan berbuat baik terhadap sesama.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai tetangganya: menghadiahkan wajah berseri dan elok dalam berinteraksi.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai rekan-rekannya: selalu mengenang kebaikan mereka dan melupakan keburukannya.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai murid-muridnya: bersungguh-sungguh dalam mentransfer ilmu kepada mereka dan berlemah lembut kepada mereka.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai guru-gurunya: mudah memahami penjelasan mereka dan menghormati mereka.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai keluarganya: kasih sayang terhadap mereka dan memahami kesulitan hidup mereka.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai atasannya: tulus dalam mentaatinya dan professional dalam bekerja.
Ada dua perkara yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan dicintai Allah dan manusia seluruhnya: mengukir kebajikan dan menghindari setiap warna gangguan terhadap mereka.
Saudaraku….
Jabatan, kekuasaan, kedudukan, harta berlimpah dan untaian kata-kata indah bukanlah jalan meraih cinta mereka. Cukup menghadirkan dua perkara dalam hidup mereka.
Dan yang terpenting dari raihan cinta mereka adalah cinta Allah SWT. Karena tiada faedahnya kita dicintai oleh manusia tapi kita dibenci oleh-Nya.
Ya Rabb, mudahkanlah kami meraih cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu. Amien.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id)

Kamis, 30 Agustus 2012

Menantang Ikhwan Datang Melamar


Artikel Lepas

30/8/2012 | 12 Shawwal 1433 H | Hits: 1.183
Oleh: Dasnah, SPd.
Kirim Print
Ilustrasi (kawanimut)
dakwatuna.com – Rasa-rasanya, kehidupan ini kurang kompleks jika tidak ada perempuan yang berpikir mengejar karir, baru kemudian berpikir untuk menikah. Banyak malah, bukan hanya satu atau dua. Dalam tulisan fiksi pun tak jarang diangkat oleh penulis. Penulis fiksi Best Seller seperti Kang Abik pun mengangkat cerita tentang seorang gadis yang mengejar karir dalam novel Cinta Suci Zahrana. Seorang penulis tak akan menuliskan dalam sebuah cerita tanpa melihat fenomena sekitar. Fenomena yang tak berlaku secara global, namun tumbuh kemudian mengakar.
Tentu bagi Anda yang merasa perempuan hal itu wajar-wajar saja. Apalagi, bila Anda salah seorang yang termasuk menomorsatukan karir. Jadi teringat dengan perbincangan salah seorang sahabat, sebutlah ia, Dea.
Dua bulan lalu, Dea terlibat percakapan dengan teman-temannya tentang kehidupan di masa yang akan datang. Biasa, usia 20 tahun ke atas merupakan hal wajar bila sudah memiliki keinginan untuk mengakhiri kesendirian atau dengan kata lain berpikir untuk menikah. Namun, perbincangan Dea bersama tiga rekannya sepertinya sudah di ambang penantian. Dea sudah berusia dua puluh tujuh tahun, dan tiga orang temannya yang lain berusia dua puluh enam dan dua puluh lima tahun. Pantas, umur-umur demikian memang sudah sangat matang, pikirku.
Dea, gadis itu seorang dosen muda di perguruan tinggi negeri, di kota gading. Akhlaknya terjaga, pandangannya pun selalu dijaga. Makanya, tak seorang lelaki pun yang berani bermain-main dengannya. Dea, gadis itu sudah cukup matang untuk menjalani bahtera rumah tangga. Ia bukannya tak laku-laku seperti lagu band ‘Wali’, ia gadis shalihah. Wajarlah jikalau sang pencipta menjaganya dari keinginan lelaki yang tak sekufu.
Dari perbincangan itu, kedengarannya Dea bukan lagi dalam kondisi siap, melainkan amat siap menuju jalan suci itu. Jalan untuk menyempurnakan agama ini. Tiba-tiba, salah seorang temannya berkata, “De, mau tidak aku jodohkan dengan temanku?”. “Ah, tidak, ah” jawabnya singkat.  Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Seorang teman ingin berniat mencarikan jodoh, namun ia tetap kekeh menolak. Meskipun sesekali ia berkata, “asalkan mampu menjadi imam bagi keluargaku kelak”. Sungguh, Dea bukan gadis yang muluk-muluk. Mau ini dan itu, namun entahlah dengan keluarganya.
Dalam percakapan itu, tiba-tiba Dea menimpali temannya, “kamu sendiri, kapan berniat ingin menikah?” “Saya, sih, masih lama. Masih ingin mengejar cita-cita, dulu!” Perbincangan di antara mereka pun makin seru. Dea dengan segala kecerewetannya mulai berceramah tentang pentingnya berpikir ke arah bahtera rumah tangga. Di penghujung perbincangan itu, Dea berharap jodoh itu akan segera mengetuk pintu rumahnya. Begitu pula dengan teman yang terlibat dalam percakapan, kecuali Vita yang masih ingin mengejar karir dan cita-citanya.
***
Sungguh perbincangan mereka amat wajar. Perempuan, bila sudah melewati usia 25 tahun, maka rasanya sudah patut diberikan tanda warning. Namun, kita pun tahu bahwa jodoh adalah salah satu rahasia yang maha kuasa. Tak patut kita mendahului-Nya dengan menerka-nerka dan berkata, “mungkin dia, dia, atau dia-lah jodohku kelak.”
Lantas bagaimana dengan kodrat ‘perempuan’ yang notabene sangat riskan dengan gunjingan bila ia menyebut-nyebut soal jodoh. Apalagi sampai sempat berpikir menantang ikhwan ‘laki-laki’ untuk datang melamar. Pasti, sudah menjadi bahan cerita. Teringat dengan kisah Rasulullah yang dilamar secara tidak langsung oleh seorang janda kaya yang baik akhlaknya, Khadijah binti Khuwailid. Bukankah, Khadijah telah memberikan contoh yang baik bila seorang ‘perempuan’ ingin melabuhkan hatinya pada ‘lelaki’ yang tepat? Kita tahu bahwa pada diri Khadijah terkumpul perangai mulia, wajarlah bila Rasulullah menerima pinangannya.
Dulu dan sekarang adalah dua kondisi yang amat berbeda. Pasti pikiran demikian kerap muncul dalam lintasan pikiran. Mana mungkin, perempuan menawarkan diri untuk dilamar? Fitrahnya, kan, perempuan yang dilamar. Mungkin demikianlah yang terbersir dalam hati ‘perempuan’ bila dihadapkan pada kondisi demikian. Kondisi di mana sudah sangat ingin menjaga diri dengan penjagaan seorang yang dapat dijadikan imam.
Sehubungan dengan hal demikian, sepertinya penting penulis berikan kutipan tentang persoalan lamar-melamar ini. Direktur Sekolah Kepribadian Muslim Glows, Kingkin Anida, mengatakan, sebaiknya perempuan tidak melamar lelaki secara langsung sebab Allah memuliakannya sebagai pihak yang dilamar. Namun, jangan juga melewatkan peluang bagus, maksudnya, kesempatan untuk menjadi istri lelaki shalih, (dikutip dari majalah UMMI edisi Mei 2012). Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits terkait dengan perbincangan ini, Kutipan di atas benar adanya, perempuan diistimewakan dengan lamaran. Perempuan shalihah pun berhak mendapatkan lelaki shalih. Tidak ada salahnya bila perempuan mendahului lelaki. “Dari Tsabit Al Bunani, dia berkata, ‘Aku pernah berada di dekat Anas bin Malik, dan di sampingnya ada anak perempuannya. Datang seorang perempuan dan ia berkata, ‘Ya, Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku?’ Mendengar hal ini putrid Anas berkata, ‘Alangkah sedikit rasa malunya, sungguh memalukan.’ Anas berkata, ia lebih baik dari kamu. Ia senang pada Rasulullah lalu menawarkan dirinya untuk beliau.”
Namun, satu hal yang harus diingat, jika keputusan demikian sudah terpatri, maka amat penting bagi ‘perempuan’ untuk membekali diri dengan berbagai keunggulan sebagai nilai plus bagi dirinya. Entah itu prestasi cemerlang dalam akademik, keterampilan dasar yang mesti dimiliki oleh seorang perempuan (menjahit, memasak, merawat anak), dan soft skill, seperti pandai menulis, berbicara, dan bergaul, dll. Dan yang pasti akhlaknya terjaga.  Ibaratnya ‘perempuan’ menantang ikhwan ‘laki-laki’ untuk datang melamar. Sesuatu yang ‘menantang’ sudah barang tentu membutuhkan perjuangan untuk menggapainya. Bila demikian, tak sia-sia perempuan shalihah menyatakan niat baiknya kepada laki-laki shalih sebab pihak yang didahului pun akan merasa tertantang dengan keunggulan yang dimiliki oleh si perempuan. *** Wallahu’alam bissawaab.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22574/menantang-ikhwan-datang-melamar/#ixzz252UyAKDL

Belajar dengan Hati, Ketika Hati Selalu Galau


Artikel Lepas
26/6/2012 | 06 Shaban 1433 H Please wait
Oleh: Hanami Kireina

Ilustrasi. (hedisasrawan.blogspot.com)



copas dari=> dakwatuna.com - Sepotong hati memang acap kali terbolak-balikan, seperti me-ji-ku-hi-bi-ni-u dalam pancaran pelangi. Susah, senang, bahagia, sedih, kasih, sayang, cemburu, cinta dan yang saat ini populer adalah GALAU.

Galau, sebuah kata sifat yang banyak menghiasi tampilan status jejaring sosial, desiran kata, dan tentunya sering menyelimuti atmosfir suasana hati seseorang. Bukan hanya dirasakan oleh para ABG saja, orang yang sudah lanjut pun ikut merasakannya. Rasanya asam, kecut manis pahit berbaur jadi satu.

Galau, sebuah suasana hati yang meresahkan, membuat sang hati tak tenang dan tak jarang sangat berpengaruh pada perilaku seseorang. Yang biasa riang jadi garang, yang biasanya semangat jadi terasa penat, yang biasanya aktif jadi pasif, yang biasanya suka jadi duka, yang biasanya gembira jadi bencana, yang biasanya syukur jadi kufur, yang biasanya cinta jadi menderita…
Ah… galau. Ada apa denganmu? Saat ku butuhkan bara api semangat, malah kau padamkan dengan mengajak hatiku pada suasanamu… Bilakah kau tahu, seandainya aku tanpa dirimu…

Bagaimanapun, seorang manusia dewasa. Manusia yang semakin spesifik akan setiap permohonan dalam untaian doanya, bukan hanya memandang hanya apa yang diinginkan hatinya, kadang juga berfikir apakah itu semua pantas untuk ia sandang, apakah pantas untuk ia dapatkan, dan apakah benar – benar sejatinya pantas untuk dirinya. Manusia dewasa yang telah diberikan kemampuan untuk mengelola suasana hatinya, mengendalikan sebuah warna yang akan menyinari warna hatinya. Apakah hanya akan berlama – lama untuk mempertahankan warna hijau? Mempercepat datangnya warna merah? Menghilangkan warna kuning? Atau konsisten untuk seberkas warna merah jambu? Ataukah putih? Ya, seseorang yang dewasa dialah sang ahli dalam memanage hati. Menjadikan proporsinya pas untuk dikonsumsi oleh suasana ruhiyahnya, bahkan untuk kondisi fisiknya.

Ketika problematika datang bertubi – tubi, kesedihan menghampiri, gelisah yang menggelayuti, iri melihat sana – sini.  Bilakah galau melanda, menyusup perlahan ataupun dengan cepatnya membalikkan hati yang tenang, menjadikannya resah gelisah dan tak tahu harus bagaimana lagi. Terdapatlah 8 penawar yang insya Allah akan membalikkan hati kita menjadi hati yang bersuasana ideal, tenteram dan nyaman

1. Dzikrullah (mengingat kepada Allah)

“(Yaitu) orang – orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

2. Membaca Al-Qur’an

Sebuah kapal selam akan tetap bertahan di dalam air dengan tanpa masalah sedikit pun, walau di permukaan bumi terjadi berbagai guncangan keadaan dia tetap bertahan, berjalan dengan pasti tak ada pengaruh bisikan sana – sini, yang ada dia hanya bersikukuh untuk meneruskan perjalanannya sembari menikmati indahnya aneka makhluk di dasar laut.

Rasakanlah tenteramnya saat membaca ayat suci yang memang original buatan Yang Maha Pemilik Hati, sekalipun kita tak mengerti terjemahan dalam bahasa Indonesianya, tapi adalah perasaan yang berbeda dibandingkan dengan membaca buku – buku biasa, terlebih jika kita telah mengetahui arti dari ayat – ayat yang telah kita baca, subhanallah. Ya, karena Al – Qur’an memang istimewa.

3. Menjauhi maksiat

Bagaimana caranya hati kita menjadi tenteram, sementara hati kecil kita terus menolak akan kebenaran palsu (maksiat) yang kita lakukan? Segera tinggalkan, seburuk – buruknya hati pasti akan merasa tak nyaman jika kita melakukan kesalahan. Karena, sejatinya fitrah hati adalah suci. Dan ini tentang bagaimana orang yang diamanahi hati untuk tetap menjaga kesuciannya. Apakah akan tetap terjaga dalam kesuciannya, ataukah merelakannya untuk ditutupi oleh kebenaran palsu dan keindahan yang semu.

4. Menjauhi ketergantungan pada makhluk

Apa yang membuatmu ragu untuk melakukannya dengan tegaknya pijakanmu sendiri? Kita sama, kita bisa. Coba dulu deh & rasakan sensasinya. Optimis.

5. Perbanyak ibadah

Sibukkan diri dengan ibadah, karena segala sesuatu yang kita lakukan, memang surga adalah obsesinya. Bagaimana caranya untuk meraih surga?

6. Yakin dengan pertolongan Allah.

Bukankah Allah itu dekat? Allah akan sesuai prasangka hambaNya.

7. Memperhatikan bukti kekuasaan Allah

Lihat sekeliling kita, betapa mentari dengan cerahnya menyambut kita, betapa malam yang selalu setia menina bobo kan kita dalam ketenangannya. Lihatlah betapa ilmu terbentang luas, dan apakan sedikit pun telah kita genggam dengan penguasaan? Rasakan setiap apa kita hirup, sebuah proses yang terus berulang tanpa ada keluh kesah karena segalanya telah berjalan pada koridor kebenaran yang tepat

8. Bersyukur

Dan Allah akan memberi balasan dan menambah nikmat-Nya kepada orang-orang yang bersyukur. Qur’an: Surat Ali Imran: 144.

Coba membiasakan diri mencatat, setiap hari, semua hal baik yang terjadi pada kita hari itu. (Keep a gratitude journal). Sudahkah kita mensyukuri apa yang kita dapatkan? Apa yang kita rasakan? Apa yang kita peroleh? Sudahkah?

Wallahua’lam…


Oleh – oleh dari kajian sore KMFM UGM @MMU.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/06/21304/belajar-dengan-hati-ketika-hati-selalu-galau/#ixzz1zO1WvLlI